Trip #14: Jelajah Desa Wisata Malangan Sleman (Bagian-1)


sekretariat Desa Wisata Malangan (dok. pribadi)

SLEMAN (piknikpiknikasik) - Klo bicara wisata, Jogja itu sebenarnya salah satu surganya. Bukan hanya soal keelokan panoramanya, atau keunikan obyek yang ditawarkan tapi juga urusan jumlahnya yang sangat banyak, dan pastinya gak selalu mahal loh ya.

Saking banyaknya, orang Jogja sendiri sampai tak mampu menjangkau semuanya, satu per satu,  termasuk aku hehe. Dan yang bikin 'mak jleb' adalah ketika aku dapet 'bonus' untuk ngetrip ke Desa Wisata Malangan, di wilayah kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, DIY. Oh iya, bonus ini aku dapet usai mengikuti event Mewarnai Indonesia: Kelas Blogging dan Menulis bagi Pemula yang diadakan oleh Tim Pojok Dutadamai Indonesia, dan disupport oleh Diskominfo DIY, dan Dinas Pariwisata Sleman, pada 22 Februari 2017.

Jadi ceritanya, kami diberi PR untuk menulis pengalaman berwisata di Sleman di blog masing-masing. Nah, tiga tulisan yang terpilih akan diajak ngetrip bareng Dispar Sleman ke salah satu obyek wisata. Saat tau agenda ngetripnya ke Desa Wisata Malangan yang notabene gak begitu jauh dari rumah, rasanya jadi gimana gitu. Maksudku, ternyata ada ya desa wisata yang sebenarnya berdekatan dengan tempat tinggalku tapi selama ini terlewatkan. Jadi pengen malu :D

Tepat hari Sabtu tanggal 11 Maret 2017, pagi-pagi sekitar jam 7 aku sudah sampai kantor Dispar DIY untuk nungguin bus yang akan membawa kami ke lokasi. Setelah nunggu sekitar satu jam bersama temen-temen lain yang sebagian besar belum kukenal, akhirnya datang juga bus yang ditunggu-tunggu.

Tanpa breafing, satu per satu kami masuk ke dalam bus pariwisata milik Dispar yang sebenarnya kapasitasnya bisa untuk 50-an orang, sementara jumlah kami 18 orang saja sehingga di dalam tampak 'gilar-gilar' klo orang Jawa menyebutnya. Tak berapa lama, bus pun melaju pelan, dengan sesekali menembus kemacetan kota Jogja.

Selama perjalanan yang tak lebih dari 30 menitan, kami larut dalam obrolan masing-masing, Sesekali terdengar candaan dari temen2 baru kami, pun sebagian ada yang ngomongin soal blog. Aku sama Dian, teman satu 'kelas', asik curhat-curhatan soal "love story" wekekekekekekek... gak nyambung blass ya dengan ngetrip.

Gak terasa, kami dah sampai Desa Malangan, yang kira-kira jaraknya 17 km barat jantung kota Jogja. Tempat yang sebenarnya tak asing bagiku, karena dulu sering wara-wari di wilayah ini saat 'bermain' di rumah teman satu angkatan waktu sekolah dulu. Aku taunya, warga Malangan ketika itu banyak yang membuat kerajinan tangan dari bambu, terutama besek. Besek ini semacam tempat makanan yang dianyam secara manual, dan biasanya digunakan masyarakat Jogja untuk antar-antar maupun membagikan 'berkatan' saat hajatan.




kami turun dari bis lanjut ke sekretariat untuk menikmati Welcome drink (dok. pribadi)

Tapi... setelah diperkenalkan lebih dalam oleh ketua pengelola Desa Wisata Malangan, bapak Wiji Raharjo, aku baru tau klo ternyata desa wisata yang baru 'dihidupkan' kembali sejak tiga bulan terakhir ini memiliki potensi lain yang cukup menarik untuk dijelajahi. Loh kok 'dihidupkan kembali'. Memangnya pernah eksis sebelumnya? Jadi, menurut cerita dari pak Wiji, sebenarnya Desa Wisata Malangan itu sudah dirintis sejak tahun 1998 lalu. Namun karena berbagai alasan dan pertimbangan, warga saat itu memutuskan untuk vakum dalam mengelola potensi wisata di daerahnya.

Baru setelah memenangkan lomba Desa Wisata awal tahun 2017, warga yang dimotori pak Wiji ini berinisiatif untuk mengelola kembali potensi wisata yang ada di sana. Di antaranya, perikanan lele dan gurameh dengan sistem konvensional dan sistem booster, menjadikan Malangan sebagai pusat batik, pengembangan pertanian dengan sistem minapadi, dan tentunya pusat kerajinan bambu. Ow iya, satu lagi yang mungkin belum banyak diketahui orang, termasuk aku sebelum dijelaskan sama pak Wiji adalah adanya Empu Sungkowo Harumbrojo yang tak lain adalah pembuat kerus pusaka untuk para Sultan di Keraton Jogja, dan pesanan keris dari sejumlah pejabat di Negeri ini. Wow!

Nanti kucoba ulas satu-satu ya, tapi karena panjangnya cerita ngetrip kali ini, jadi ceritanya bersambung biar gak capek bacanya, apalagi yang nulis haha.

untuk cerita perjalanan ke 14 ini, ulasannya soal perikanan lele dan gurameh dengan sistem konvensional, sebagai titik pertama yang kami kunjungi. Sayangnya, pak Wiji bersama rombongan tak sempat mengantar kami ke lokasi perikanan dengan sistem booster yang kabarnya lebih efisien dari sisi produksi maupun ketersediaan lahannya.

Ups... sebelum panjang lebar ngomongin soal perikanan, pertamanya kuceritakan dulu bagaimana ketika warga menyambut kedatangan kami. Sesampainya di Malangan, kami dipersilakan menikmati welcome drink istilah kerennya, di sekretariat Desa Wisata Malangan. Keramahan warga yang sebagian sudah sepuh dan sebagian lagi masih muda-muda, serta mengenakan pakaian adat Jawa, membuat suasana jamuan untuk kami menjadi hangat dan akrab, meskipun baru sekali bertemu.

Pak Wiji dengan memegang toa, menjelaskan secara detail satu per satu obyek wisata yang akan kami jelajahi dengan sepeda onthel yang sudah disiapkan oleh panitia di sektetariat. Kami juga diberi selembar kain untuk 'udheng' di kepala, sebelum ngetrip.



sesi memakai udheng (dok. pribadi)

Apa itu udheng? dari penelusuranku lewat mbah gogel, Udheng itu semacam pelengkap busana kejawen yang dikenakan pada bagian kepala, seperti mengenakan topi. Udheng sendiri konon berasal dari kata mudheng artinya mengerti dengan jelas. Artinya, manusia akan memiliki pemikiran yang kukuh bila sudah mudheng atau memahami tujuan hidupnya. Sebab, manusia memiliki fitrah untuk senantiasa mencari kesejatian hidup sebagai sangkan paraning dumadi.

Makna lain dari udheng ini adalah agar manusia memiliki keahlian atau ketrampilan, serta dapat menjalankan pekerjaannya dengan pemahaman yang memadai karena memiliki dasar pengetahuan. Wuih dalem ya maknanya.

Cara memakai udheng ini juga terbilang unik dan bagi yang belum terbiasa seperti aku dan Dian, cukup rumit karena kain cuma diikatkan dengan bentuk hampir menyerupai blangkon klo aku bilang. Untungnya, ada mas-mas panitia yang baik hati membantu kami berdua serta beberapa temen lainnya untuk memakai udheng ini. Ahay... setelah dijepret ternyata OK juga dipadupadankan dengan jilbab.

Setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dari pak Wiji, sembari menikmati suguhan makanan tradisional khas ndeso, ada kacang dan pisang godhog, balok alias singkong goreng, serta aneka kue tradisional ples wedang secang, petualangan kami pun dimulai, dengan didampingi oleh panitia tentunya.





Sajian welcome drink ala Desa Wisata Malangan (dok. pribadi)

Dengan mengendarai sepeda kayuh, satu per satu kami menyusuri jalan mengukuti petunjuk langkah dari panitia. Sesekali kami melewati gang sempit di antara rumah warga. Sesekali juga kami menyapa orang-orang yang kebetulan berpapasan di jalan. Suwer... orang Malangan ramah-ramah.

Titik tujuan pertama, seperti yang aku bilang sebelumnya tadi adalah di pusat perikanan lele dan gurameh dengan sistem konvensional. Lokasinya berada di sisi timur Desa Wisata Malangan atau sekitar 200 meter dari sekretariat. Pak Wiji menjelaskan bahwa perikanan ini memanfaatkan keberadaan saluran irigasi Van der Wicjk (selokan peninggalan jaman Belanda) yang melintasi sisi utara dusun.

Dengan luasan kurang lebih 2.500 meter persegi, pusat perikanan yang dibangun sejak tahun 2000 ini mampu menghasilkan 10 ribuan ekor lele dumbo setiap kali panen, yang didistribusikan ke konsumen langganan.


kami di lokasi perikanan sistem konvemsional (dok. Pribadi)

"Biasanya para pemilik warung makan di sekitar sini, ngambil ikannya ya dari sini," kata pak Wiji. Harga yang dipatok, masih menurut pak Wiji, rata-rata Rp 16 ribu per kg ikan lele.

Sebenarnya, titik ini bukan satu-satunya lokasi perikanan di Malangan, karena hampir setiap kelompok tani yang ada juga membudidayakan perikanan sejenis. Satu kelompok tani biasanya dikelola bersama oleh 10 orang.

Selain diperjual-belikan, lele hasil budidaya ini juga pernah dikreasikan oleh warga setempat menjadi aneka olahan, seperti nugget dan juga terasi. Bahkan, ketika kami makan siang pun, salah satu hidangannya adalah lele masak pedas. wekekekekek.. klo ini asal nyebut saja karena gak tau istilah masakan yang sebenarnya. Pokoknya lele digoreng dengan bumbu pedas dan pastinya mak nyusss... Jadi kepengen laper :p




Menu makan siang kami (dok. pribadi)

setelah cekrak cekrek dengan kamera dan video masing-masing, perjalanan kami berlanjut ke titik selanjutnya. Ke manakah? Tunggu cerita berikutnya ye...

salam piknikers

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip #9: Menikmati wisata kuliner malam 'romantis' di angkringan pendopo lawas Jogja

Trip #8: Berdamai dengan alam di kawasan hutan mangrove Baros

Trip #12: di Kampung Flory Sleman, Icip-icip Kuliner Ndeso