Trip #8: Berdamai dengan alam di kawasan hutan mangrove Baros
Gapura penanda kawasan hutan mangrove Baros, Bantul (dok. Pribadi)
Hal yang paling menyenangkan saat piknik adalah menemukan kedamaian dan ketenangan sembari menikmati keindahan alam sekitar. Hijaunya pepohonan dipadu dengan gemuruh ombak dari pesisir pantai seolah menjadi perpaduan keindahan alam yang nyaris sempurna untuk dinikmati. Bahkan, di tengah terik matahari siang hari.
Suasana seperti itulah yang aku rasakan bersama seorang kawan, ketika menyusuri tepian sungai opak yang hampir menyatu dengan pantai Baros Bantul. Sesekali, kami juga menyapa para mancingmania yang berjajar dengan pancing-pancing mereka di bibir sungai. Tak hanya itu, ketika kami berjalan ke arah timur, segerombolan burung cantik tengah bermain-main di pinggiran sungai.
Suasana di pinggiran sungai opak kawasan hutan mangrove Baros (dok. Pribadi)
Kami pun tak ingin melewatkan momen langka itu dengan cekrak-cekrek dari kejauhan. Meskipun kamera hape kami hasilnya minimalis, tapi lumayanlah, untuk membidik obyek satwa itu dari kejauhan.
Aksi teman saat memotret segerombolan burung (dok. Pribadi)
Sesekali, kami juga melihat warga yang menyeberang sungai yang arusnya tenang, dengan membawa sak-sak yang entah apa isinya. Sementar sebagian perempuan yang ikut menyeberang, terlihat membawa kayu-kayu dari seberang sungai.
"Hebat banget mereka, berani menyeberang sungai yang begitu besar dengan memunji barang-barang bawaan itu," gumamku. Walau kelihatannya gak terlalu dalam, tetapi tetap saja mengerikan kalau tiba-tiba arus deras menerjang mereka.
Seorang warga menyeberang sungai opak (dok. Pribadi)
Saat duduk-duduk di atas hamparan pasir kami pun berceloteh "coba kalau tadi bawa cemilan sama minum ya, wekekekekek". Emang di tempat ini, meski banyak sampah bekas makanan dan minuman berserakan di sana-sini, tak ada satu pun warung yang berdiri. Lalu dari mana sampah-sampah itu? Nanti yang kami tanyakan ke pengelola hutan mangrove di Baros. Namanya, Mbah Warsono, kata temenku.
Sampah-sampah berserakan di sekitar kawasan hutan mangrove Baros (dok. Pribadi)
Di sisi utara, hanya ada hutan mangrove (bakau) dan hamparan lahan hijau rerumputan, dan ranting-ranting mangrove yang kering karena tersapu air sungai dan laut yang beradu saat gelombang pasang menjangkau kawasan ini.
Hutan mangrove Baros (dok. Pribadi)
Sementara di sisi selatan, jelas sungai opak yang airnya seperti kopi susu warnanya. Hemmm... Jadi keingat white coffee yang nikmat itu hehe... Agak ke selatan dikit, terlihat deburan ombak yang bergulung-gulung bergantian dari Pantai Baros yang jaraknya terlihat begitu dekat, bahkan sebagian telah menyatu dengan sungai. Keren abis dah pokoknya.
Sisi selatan sungai opak (dok. Pribadi)
Puas duduk-duduk, kamipun kembali menyusuri sungai menuju tempat mbah Warso yang ada di balik hutan mangrove itu. Sesekali kami memungut bebatuan yang tampak unik. Sempat terpikir untuk membawanya pulang tapi... Berat.
Setelah melewati jembatan bambu yang membelah hutan mangrove, kami pun bertemu dengan mbah Warso yang tengah ngarit rerumputan untuk lembunya.
Jembatan di hutan mangrove Baros (dok. Pribadi)
Setelah menyapa beliau, kami pun diajak menuju ke balai-balai yang ada di dekat ladangnya yang juga menjadi pintu masuk menuju kawasan hutan mangrove Baros.
Saat ngobrol dengan mbah Warso (dok. Pribadi)
Dari cerita mbah Warso yang tak lain adalah perintis hutan mangrove sejak Mei 2003 lalu ini, kami jadi tahu kalau ternyata awalnya, hutan bakau ini digagas oleh Toyota, dengan tujuan untuk melindungi lahan yang ada di dusun Baros, desa Tirtohargo, kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, DIY yang hanya beberapa meter dari bibir sungai opak, dari uap air laut yang merusakkan tanaman.
"Dulu sebelum ada tanaman bakau, pepohonan kelapa bisa rontok daunnya," kata Mbah Warso dalam logat Jawa.
Awal penanaman, kata Mbah Warso, mencapai 15 Hektar, di sepanjang sungai opak, yang membentang dari Pantai Depok di sisi timur, hingga Pantai Samas di sebelah barat. Namun, sayangnya, sekarang tinggal 4 hektar-an karena rusak saat terkena banjir dan rob air laut.
Tanam bakau yang kering akibat banjir (dok. Pribadi)
Awal penanaman, mbah Warso hanya diberi empat jenis bakau yang kemudian setelah tumbuh dengan baik dalam sepuluh tahun terakhir, ditambah dua jenis bakau lagi. Salah satunya, jenis bakau api-api.
Mbah Warso juga cerita kalau tiap hari libur, tempat ini hampir tak pernah sepi dari pengunjung. Hanya saja, saat hari-hari biasa, seperti saat kami berkunjung, hampir tak ada orang yang datang. Biasanya, orang-orang yang datang, tak sekedar berwisata, tetapi mereka juga melakukan aksi tanam pohon dan pungut sampah yang memang luar biasa banyak. Bahkan merusak ekosistem sungai di hutan mangrove.
Sungai di hutan mangrove yang tercemar sampah (dok. Pribadi)
"Sampah-sampai itu, jumlah banyak karena di sini ada tiga muara sungai, yakni sungai Bedog, sungai Oya tempuran, dan Sungai Opak. Aliran sampah itu dari atas. Kumpulnya di sini semua. Kalau pun dibersihkan, sehari dua malam, atau bulanan tidak akan dapat karena selalu datang dari atas. Membersihkan sehari, satu jam sudah 'byuk-byuk' datang lagi.Makanya di sini dikatakan buangan," keluh Mbah Warso.
Ow... Jadi ini rupanya yang jadi masalahanya. Rasa penasaran kami pun akhirnya terjawab. Cuma pertanyaan selanjutnya, gimana ya solusinya untuk mengurangi timbunan berbagai jenis sampah itu?
Tumpukan sampah di sekitar hutan mangrove yang telah dikumpulkan (dok. Pribadi)
"Dari UGM, UPN, dan mana saja sudah pernah melakukan pembersihan, dan dimasukkan ke kantong-kantong plastik. Kalau sudah kering akan kami bakar. Sekarang sudah berserakan lagi karena ada rob besar," ujarnya lagi.
Namun begitu, mbah Warso tetap berharap, pemerintah bisa mengembangkan kawasan konservasi ini sebagai obyek wisata alam yang tak hanya bergantung pada kunjungan di hari libur saja. Di tempat ini sebenarnya memang memiliki potensi besar untuk menarik wisatawan. Karena, selain rerimbunan hutan bakau yang bisa dijadikan spot selfie menarik, juga di bibir sungai opak menjadi tempat pemancingan yang selalu 'hidup' selama 24 jam.
Hanya saja, PR besarnya memang bagaimana mengatasi persoalan sampah itu dan juga mengembangkan kawasan menjadi lokasi yang memiliki 'nilai jual' tinggi bagi pariwisata.
Sepertinya, dengan pembangunan jalur lintas selatan yang telah mencapai wilayah Baros akan mempermudah akses menuju kawasan hutan mangrove.
Jalur lintas selatan di wilayah Baros yang tengah dibangun (dok. Pribadi)
Ow ya untuk mencapai tempat ini, kalau dari jalan Parangtritis bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Setelah ketemu perempatan yang ada petunjuknya menuju hutan mangrove Baros (sekitar Jalan Parangtritis KM 18) tinggal mengikuti petunjuk jalan itu. Jaraknya masih lumayan jauh ya sekitaran 10 km, dan berbelok-belok. Tapi tenang, gak perlu takut kesasar karena ada pentunjuk-petunjuknya.
Dan jangan dikira perjalanan 10 km itu akan membosankan, karena di sepanjang jalan kita disuguhi pemandangan indah dari hamparan bulak-bulak persawahan di kiri-kanan jalan yang menghijau. Bahkan, saat kami melintas, ladang-ladang dipenuhi tanaman jagung yang mengering hingga menambah warna-warni alam. Juga melewati pedusunan yang asri hingga ketemu jalur lintas selatan yang tengah dibangun. Dari sana akan terlihat semacam gapura sebagai penanda kawasan hutan mangrove baros" dan masuk ke jalan setapak hingga sampai di lokasi.
Pintu masuk hutan mangrove Baros (dok. Pribadi)
Jalan-jalan kami pun kami akhiri setelah puas ngobrol dengan mbah Warso yang baik dan ramah, meski sudah 'sepuh' tetap energik. Sehat terus mbah... Terima kasih mbah, karena dari Anda, kami belajar ketulusan mencintai alam tanpa pamrih.
Sebab, meski tak pernah mendapatkan penghargaan atas upayanya melestarikan alam, mbah Warso tetap semangat dan tak memungut biaya apapun untuk para wisatawan yang datang ke lokasinya. Hanya untuk penanaman pohon, bibitnya bisa dibeli dari pemuda setempat. Dan uang parkir kendaraan Rp 2.000.
Salam piknikers...
Komentar
Posting Komentar