Trip #6: Bercengkrama dengan alam di lava bantal


Panorama lava bantal di Berbah Sleman (dok. Pribadi)

Tumpukan bebatuan ukuran raksasa yang menyerupai bantal dipadu dengan bersihnya aliran sungai yang sebagian warna airnya tampak seperti hijau toska seolah menciptakan keindahan alam yang nyaris sempurna di obyek wisata alam lava bantal Berbah, Sleman, DIY.

Panorama semakin indah dengan membentangnya jembatan khusus untuk pejalan kaki yang membelah sungai opak dari sisi timur ke barat yang menghubungkan jalur lava bantal menuju embung Tegaltirto yang terletak sekitar 500 meter di sisi selatan.


Jembatan khusus untuk pejalan kaki dari lava bantal menuju embung tegaltirto Sleman (dok. Pribadi)

Tak heran, obyek wisata yang baru diresmikan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada 30 Mei 2016 lalu ini langsung menyedot perhatian masyarakat.

Meski tingkat kunjungan wisatawan belum bisa dikatakan sangat banyak, namun setidaknya dalam setiap harinya hampir selalu ada pengunjung yang datang untuk sekedar menikmati panorama alam, ataupun berselfie ria di kawasan wisata geo-heritage satu ini.

Suatu ketika, saya pun 'tergoda' untuk mampir ketika melintas di sekitar jalan Berbah-Prambanan atau tepatnya di dusun Watuadeg, desa Jogotirto, kecamatan Berbah, kabupaten Sleman, DIY yang menjadi lokasi wisata geopark tersebut.

Waktu yang jelang tengah hari di bawah terik mentari, tak menyurutkan niat saya dan ponakan untuk 'berburu' gambar epic sembari ber-selfie di tepian sungai dan jembatan gantung, serta embung tegaltirto. Apalagi, untuk masuk ke obyek wisata ini, cukup merogoh kocek untuk parkir kendaraan. Khusus sepeda motor seperti yang kami kendarai, cukup 2 ribu perak. Benar-benar wisata murmer alias murah meriah.





Foto-foto selfie kami dan pengunjung di lava bantal (dok. Pribadi)

Dari berbagai cerita dan catatan sejarah, lava bantal ini awalnya terbentuk dari lelehan lava Gunung Merapi yang membeku dan kontak langsung dengan air sehingga mineralnya membentuk geometri mirip tumpukan bantal. Ini yang kemudian oleh masyarakat disebut sebagai wisata lava bantal.

Lava bantal juga memiliki arti penting sebagai konstruksi awal gunung api tua yang terjadi di laut, pra erupsi dasyat ketika itu. Situs ini merupakan produk gunung api purba bawah laut yang saat ini, kondisi di atasnya tidak ada vegetasi, kecuali semak belukar.

Sebelum ditetapkan sebagai kawasan wisata alam, tempat ini dulunya sering dijadikan sebagai lokasi pembuangan sampah.

Untuk menjangkau bebatuan di sisi kanan maupun kiri sungai, pengelola membangun jembatan darurat yang hanya bisa dilalui dari satu arah. Awalnya melihat sempitnya jembatan dan konstruksinya yang terbuat dari bambu, sempat ngeri juga mau melintas. Apalagi di bawahnya arus sungai cukup deras.



Jembatan darurat di lava bantal (dok. Pribadi)

Tapi, lagi-lagi, indahnya tumpukan bebatuan di sisi barat sungai mampu mengalahkan ketakutan kami dan akhirnya... Cekrak cekrek di atas lava beku berukuran jumbo tersebut, sembari sesekali membentangkan tulisan "happy time" yang ternyata telah disiapkan ponakan dari rumah.

Puas cekrak cekrek di tepian sungai, kami pun berjalan kaki menuju embung Tegaltirto yang ternyata sudah berbeda wilayah dengan lava bantal. Tepatnya, di dusun Candirejo, desa Tegal Tirto, kecamatan Berbah, kabupaten Sleman, DIY.



Perjalanan menuju embung tegaltirto (dok. Pribadi)

Pembangunan embung dengan luas sekitar 6 ribu meter persegi ini sebenarnya berfungsi sebagai daerah konservasi air dan dapat memulihkan kondisi lingkungan yang kritis. Embung yang dibangun pada tahun 2012 dengan sebutan sebelumnya embung Candirejo ini baru diresmikan oleh Bupati Sleman, Sri Purnomo, pada 15 Maret 2014 lalu.


Embung tegaltirto (dok. Pribadi)

Dengan adanya embung ini, keperluan irigasi sekitar 65 hektar sawah di sekitar Kecamatan Berbah bisa tercukupi. Selain juga dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai lokasi pemancingan.

Tak hanya itu, sejak ditetapkan sebagai kawasan obyek wisata yang terintegrasi dengan lava bantal, lokasi di sekitar embung juga didirikan gazebo-gazebo untuk berteduh para pengunjung. Sementara bagi wisatawan yang ingin mengelilingi embung, pengelola juga menyediakan bebek air dan sepeda air untuk disewa dengan tarif Rp 15 ribu.


Pengunjung menikmati sepeda air di embung tegaltirto (dok. Pribadi)

Karena cuaca panas menyengat, kami pun memutuskan untuk berteduh di salah satu gazebo sambil menikmati mie instant dalam cup dan tak ketinggalan selfie-selfie lalu upload di media sosial. Untungnya, kami berdua menggunakan kartu As Telkomsel yang sinyalnya kuat sehingga internetan tetap lancar jaya. Ahay... Pokoknya dengan Telkom, 'Indonesia Makin Digital', sesuai sama hashtag-nya #IndonesiaMakinDigital.


Selfie kami di gazebo embung tegaltirto (dok. Pribadi)

Eh kembali ke cerita kami, sayangnya di lokasi ini, baik lava bantal maupun embung tegal tirto belum dilengkapi dengan pusat-pusat kuliner sehingga kami dan mungkin juga para pengunjung lainnya cukup kesulitan untuk mendapatkan menu makan siang. Tahu gitu, bawa bekal dari rumah ya hehe...

Setelah puas menikmati mie instant dalam cup yang dibeli dari angkringan sebelah embung, kami pun memutuskan untuk pulang dengan membawa cerita seru saat bercengkrama dengan alam di lava bantal.

Salam piknikers...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip #9: Menikmati wisata kuliner malam 'romantis' di angkringan pendopo lawas Jogja

Trip #8: Berdamai dengan alam di kawasan hutan mangrove Baros

Trip #12: di Kampung Flory Sleman, Icip-icip Kuliner Ndeso