Trip #19: Belajar Budaya Sadar Bencana ala Anak Muda Girirejo Bantul

Foto: dok. Karang Taruna Giribakti

BANTUL (piknikpiknikasik) - Hai...Hai piknikers... ketemu lagi kita gaiss... Eh, banyak orang bilang kalau Indonesia ini semacam "gudangnya" bencana alam. Salah satunya, gempa bumi. Saking seringnya gempa hampir di setiap wilayah, pernah pada satu kesempatan, pas ketemu bu Dwikorita Karnawati (kepala BMKG), beliau mengatakan yang pada intinya begini: seringnya gempa bumi terjadi karena memang Indonesia merupakan negeri yang terbentuk oleh adanya gempa-gempa akibat tumbukan-tumbukan lempeng aktif. Dan tumbukan-tumbukan itu akan terus terjadi, karena itu bagian dari "cara" bumi ini hidup.

Masih jelas dalam ingatan kita seperti apa dasyatnya gempa yang mengguncang saudara-saudara kita di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), baru-baru ini kan? Ya,  dari Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dipublikasikan melalui https://bnpb.go.id/ , Hingga 15 Agustus 2018, jumlah korban meninggal dunia sebanyak 460 orang. Sedangkan korban luka-luka tercatat 7.733 orang, yang  959 orang diantaranya mengalami luka berat dan 6.774 orang luka ringan.

Jumlah pengungsi akibat gempa beruntun tersebut mencapai 417.529 yang tersebar di ribuan titik. Selain itu, kerusakan rumah yang terdata sebanyak 32.016 rusak berat, 3.173 rusak sedang, dan 36.773 rusak ringan. Kerusakan fisik lainnya adalah  671 unit fasilitas pendidikan, 52 unit fasilitas kesehatan, 128 unit fasilitas peribadatan, 20 unit perkantoran, 6 unit jembatan, dan jalan-jalan rusak maupun ambles akibat gempa.

Dari kerusakan itu, taksiran kerugian meliputi sektor permukiman 6,02 trilyun rupiah, sektor infrastruktur 9,1 milyar rupiah, sektor ekonomi produktif 570,55 milyar rupiah, sektor sosial 779,82 milyar rupiah, dan  lintas sektor 72,7 milyar rupiah. Sektor permukiman adalah penyumbang terbesar dari kerusakan dan kerugian akibat bencana yaitu mencapai 81 persen.

Kalau ngomongin gempa, jadi ingat peristiwa gempa dasyat yang juga mengguncang DIY dan sekitarnya, pada 27 Mei 2016 silam. Sudah lama banget sih, tapi... tetap saja gak bakalan terlupakan karena memang menjadi bagian dari saksi "sejarah" yang memilukan itu. Bagaimana bisa lupa? Ketika masih 'angler' di atas dipan pagi-pagi, dan tiba-tiba terasa digoyang-goyang cukup lama, dan sontak orang pada teriak "lindu... lindu" sembari berlarian keluar rumah, pun termasuk aku yang masih berasa separuh nyawa.

Waktu itu belum jamannya orang pakai Whatsapp grup seperti sekarang. Media sosial di internet juga belum semasif sekarang, di mana hampir semua orang punya akun pribadi. Tapi... namanya orang usil yang sengaja ingin memperkeruh situasi tetap saja ada caranya. Belum genap satu jam gempa besar berlalu, dan orang-orang masih shock dan trauma, tiba-tiba beredar isu kalau akan ada tsunami besar, dan air di sungai-sungai dekat rumah warga sudah meluap, jembatan roboh (ya iyalah roboh, kalau gak mana bisa dilewati? wekekekek)  dan warga disuruh segera mengungsi.

Parahnya, orang-orang lagi-lagi termasuk aku, tak lagi berpikir panjang apalagi logis bahwa isu tersebut terlalu mengada-ada. Kami pun larut dalam kepanikan yang luar biasa, hingga kebanyakan dari kami "termakan" isu lalu berbondong-bondong pergi cari aman masing-masing, tanpa tahu ke mana sebenarnya arah yang dituju. Yang penting aman saja.

Kepanikan itu bukan tanpa alasan. Pertama, karena dua tahun sebelumnya ( akhir tahun 2014), tsunami dasyat menerjang Aceh. Kedua, ketika itu, orang Jogja banyak yang beranggapan bahwa gempa besar itu karena Gunung Merapi akan meletus. Sementara, warga Jogja bagian selatan yang notabene dekat dengan pesisir mengira, tsunami sebagaimana yang terjadi di Aceh, juga akan menerjang Jogja.

Akibatnya, warga yang dari utara lari ke selatan, dan warga dari selatan cari aman ke utara. Lah yang tengah-tengah seperti tempat kami? Maksudnya tengah-tengah adalah kalau diukur dari jarak dengan Gunung Merapi maupun pesisir selatan, masing-masing jauhnya sekitar 30 - 40 km. Jarak yang sebenarnya terbilang jauh dari titik bencana (kalau waktu itu yang terjadi kemudian adalah erupsi merapi/tsunami di pesisir selatan). Kami yang di tengah ikut panik luar biasa, hingga menyebar sampai ke mana-mana. Ada yang ke perbukitan dekat tempat tinggal kami, atau pergi jauh hingga ke luar kota.

Saya sendiri, bersama ponakan dan kakak ipar punya cerita yang gak bakalan terlupakan cuma gak perlu diceritakan di sini karena akan menjadi sangat panjang tulisannya. Yang pasti, kami menyaksikan secara nyata betapa dampak isu tak bertanggung-jawab itu atau kalau sekarang orang menyebutnya kabar hoax itu sangat luar biasa, ketika dihembuskan di tengah situasi bencana. Sedih, sekaligus merasa "bodoh" ketika mengingat masa-masa kelam itu.

Sedih karena ternyata gempa tektonik dengan magnitude  5.9 Scala Richter (SR) pada pukul 05.55 WIB, Sabtu (27/5/2006) pagi itu menimbulkan banyak korban jiwa, dan pastinya harta benda. Berdasarkan data Consultative-Group on Indonesia (2006) yang dilansir dari laman geomagz.geologi milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, akibat guncangan gempa darat dangkal sekitar 52 detik, dengan episentrum (pusat) di wilayah Bantul tersebut telah mengakibatkan sedikitnya 6 ribu orang meninggal dunia, 50 ribu orang luka-luka, dan 500 ribu sampai sejuta orang kehilangan tempat tinggal mereka. Kerugian materinya? sangat fantastis angkanya, yakni diperkirakan sebesar 2,9 triliun rupiah. Wilayah kerusakan terberat adalah Bantul dan Klaten, termasuk kerusakan serius pada Candi Prambanan dan Makam Sultan dari Abad 16 di Imogiri, Bantul.

Di sisi lain, aku pribadi merasa "dibodohi" dengan isu tsunami itu tadi, hingga banyak cerita-cerita yang sebenarnya lucu kalau diingat di masa sekarang. Di mana kepanikan telah membuat banyak orang "lupa" berpikir dengan akal sehat. Misalnya, meninggalkan kendaraan-kendaraan mereka di pinggir-pinggir jalan karena kehabisan bahan bakar dan memilih jalan kaki atau tiba-tiba nebeng kendaraan orang yang entah tujuannya ke mana, tau-tau sudah jauh ke luar kota. Ada juga cerita orang-orang naik mobil yang ternyata sopirnya malah 'ngacir' duluan, jadinya mobil gak ada yang jalanin, dan masih banyak lagi cerita yang kalau diingat kembali rasanya pengen ketawa aja bawaannya.

Budaya Sadar Bencana Penting Ditanamkan

Foto: dok. Karang Taruna Giribakti

Berangkat dari pengalaman di atas, aku menjadi sadar betapa budaya sadar bencana itu sangat penting ditanamkan, bahkan sejak usia dini. Caranya? Dengan Kenali Bahayanya, Kurangi Resikonya sehingga kita siap untuk selamat, saat bencana melanda.

Mitigasi bencana yang dimaksud, tentunya gak akan terwujud begitu saja, tanpa media pembelajaran yang disampaikan secara langsung maupun tak langsung ke masyarakat. Nah, cerita perjalananku kali ini, selain jalan-jalan 'napak tilas' di dusun Kradenan, desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY, juga belajar mitigasi bencana gempa ala anak muda di Karang Taruna Giribakti.

Kenapa disebut napak tilas? karena desa ini adalah satu dari sekian banyak desa di DIY yang terkena dampak terparah, dari gempa bumi 27 Mei 2006. Seberapa parah? Nanti, di alenia-alenia selanjutnya akan ada penjelasannya dari warga di sana. sabar ya... hehe

Video Partisipatori jadi Media Pembelajaran Penanggulangan Bencana Warga Girirejo

Sebelum sampai pada penjelasan apa itu video partisipatori dan bagaimana orang bisa belajar pengurangan resiko bencana dari sana, aku mau cerita dulu bagaimana awalnya aku sampai di desa yang lokasinya tak terlalu jauh dari pasar Imogiri lama itu.

Ceritanya, pas buka-buka beranda laman Facebook, nemu gambar tiga orang tengah serius dengan video recorder, dengan caption:

Pendampingan Film Komunitas Pengurangan Resiko Bencana Gempa Bumi Karang Taruna KGB Girirejo Imogiri Bantul 2014

#prayforlombok
#penguranganresikobencana
#penguranganresikogempa
#gempabumi

Foto: dok. FB Harsya Aryo

Karena tertarik dengan captionnya dan kebetulan juga kenal baik sama pemilik akun Facebook Harsya Aryo yang tak lain adalah pemrakarsa dari video partisipatori  tentang kebencanaan karya muda-mudi Girirejo.

Singkat cerita, setelah kontak-kontakan sama mas Harsya, dan sepakat janjian untuk ngobrol-ngobrol soal pendampingan itu, kami pun bertemu di kantor Bawaslu Kota Yogyakarta. Alasan ketemu di sana, karena sekarang beliau jadi salah satu komisionernya di sana.

Dari ngobrol-ngobrol sekitar 30 menit itu, mas Harsya yang punya nama panjang Noor Harsya Aryo Samudro itu bercerita bahwa pembuatan video partisipatori itu berawal ketika dirinya yang ketika itu aktif jadi dosen di Institute Seni Indonesia (ISI) Solo tergerak untuk memberikan pendampingan pada anak-anak survivor (jika tak tepat disebut korban) gempa bumi di Kradenan, pada 2006.

"Pasca gempa itu kan kalau orang tua dan orang-orang dewasa sudah ada yang mendampingi dan mereka sibuk dengan recovery. Sementara anak-anak justru tidak ada yang menemani," ungkap Harsya.

Mas Harsya bersama temannya, lalu mengajak anak-anak di Kradenan bermain dengan kamera milik mas Totok Hartanto yang masih tersisa setelah guncangan gempa besar 2006. Mas Totok ini, menurutnya, adalah juga sebagai fasilitator lokal mereka.

Ternyata bukan hal mudah bagi mas Harsya dan kawan-kawannya untuk meyakinkan terutama pada para orang tua dari anak-anak itu bahwa yang ia lakukan adalah niat baik untuk menghibur sekaligus memberdayakan mereka, melalui kreativitas membuat visualisasi kegiatan sehari-hari pasca gempa, dengan menggunakan kamera analog "peninggalan" pasca gempa yang meluluh-lantakkan hampir seluruh infrastruktur di sana.

"Kekhawatiran warga, untuk apa anak-anak diajari pake kamera? jangan-jangan ingin menjual kesusahan mereka," kata aktivis etnoreflika ini.

Namun, lambat laun, akhirnya warga luluh dan percaya bahwa apa yang ia lakukan tak seburuk yang mereka pikirkan selama ini. Bahkan warga juga memberikan apresiasi, ketika anak-anak mereka yang masih berusia TK hingga kelas 6 SD bisa membuat persembahan seni dan pemutaran film karya mereka sendiri, saat puncak peringatan HUT RI, 17 Agustus 2006 atau selang tiga bulan saja setelah gempa.

Cerita di Balik Pembuatan Video Partisipatori anak-anak Girirejo


Foto: dok. Karang Taruna Giribakti


Mendengar cerita dari mas Harsya saja rasanya belum afdol kalau gak sekalian ketemu sama orang-orang yang terlibat langsung dalam pembuatan video.partisipatori yang diwujudkan dalam film pendek berjudul "Ketika Gempa, Kita Bersatu," di desa Girirejo.

Berbekal informasi dari mas Harsya dan bantuan GPS, aku bersama satu teman jurnalis dari salah satu radio milik pemerintah, sampailah kami di rumah Mas Totok, jelang tengah hari. Oh ya, tak hanya ketemu mas Totok, kami juga berkenalan dan ngobrol-ngobrol dengan mas Fitri Nurharyanto yang merupakan ketua karang taruna Giribakti dan bagian dari pemain sekaligus penggarap film dokumenter berdurasi 40 menitan tersebut.

Sama halnya dengan mas Harsya, Mas Totok juga cerita kalau awal kedatangan temen-temen Etnoreflika ke Kradenan adalah untuk memberikan pendampingan ke anak-anak, semacam trauma healing pasca tertimpa musibah.Etnoreflika itu, kata mas Totok, merupakan kelompok bentukan alumni antropologi UGM yang menggunakan media Audio Visual (AV) untuk mengedukasi ataupun memfasilitasi masyarakat.

Seperti gayung bersambut, ketika mas Harsya punya ide mengajarkan anak-anak "pegang" kamera miliknya untuk memotret keseharian mereka, dan mendokumentasikannya dalam bentuk video.

"Jadi tema kebencanaan itu muncul ketika sudah sekian lama berjalan,” jelasnya.

Meski sempat ditolak warga, sebut mas Totok, tapi mas Harsya tak patah semangat untuk terus meyakinkan masyarakat bahwa niat baiknya tulus. Mas Harsya, lanjutnya, sampai tidur berhari-hari di sini demi dekat dengan warga. Kalau ada kegiatan warga, mereka juga ikut berbaur. Dan ketika anak-anak mampu membuat acara Ajang Kreasi Seni Anak-anak Kradenan (Aksara) itulah warga mulai percaya kalau ternyata anak-anak mereka selama ini melakukan kegiatan yang positif dan bermanfaat.

Video partisipatori pertama mengisahkan tentang daily life mereka pasca gempa bumi yang menghancurkan sekitar 75% rumah warga Girirejo, dan dua orang meninggal dunia. Selain itu, anak-anak yang kreatif itu juga mengangkat kisah inspiratif dari tetangganya yang berjualan dawet, sup buah, lotek, serta sosis, dan bisa survive di tengah bencana dan orang-orang sibuk bekerja pada orang lain.

Sesuai dengan sebutannya, video partisipatori merupakan gambar bergerak yang dibuat oleh mereka sendiri, mulai dari proses perencanaan hingga produksinya selesai. Hasilnya, selain sebagai dokumentasi yang menghibur, juga sebagai bagian dari catatan sejarah desa Girirejo, bagaimana kondisi mereka pasca gempa, dan bangkit dari keterpurukan hingga desa mereka tampil dengan "wajah baru" dengan rumah-rumah baru yang dibangun saat proses recovery.

Karang Taruna Giribakti Produksi Film tentang Pengurangan Resiko Bencana Gempa

Foto: dok. Karang Taruna Giribakti

Keberhasilan anak-anak Kradenan membuat video partisipatori, kemudian mendorong mas Harsya dan kawan-kawannya menggandeng anak muda, melalui karang taruna di sana, untuk memproduksi film dokumenter tentang penanggulangan resiko bencana. Kebetulan mas Harsya saat itu mendapat project dari salah satu lembaga untuk mewujudkan rencana tersebut.

Dengan melibatkan Kader Karang Taruna Tanggap Bencana (Katana) Girirejo, pada tahun 2013 - 2014, mereka kembali berhasil memproduksi film pendek yang diberi judul "Ketika Gempa, Kami Bersatu," yang kemudian dilaunching bersama-sama warga di tanah lapang.

Mas Fitri Nurharyanto sebagai ketua karang taruna yang baru dilantik waktu itu mengaku sempat pesimis bisa membuat film tersebut, karena tak ada satupun yang bisa menggunakan kamera, apalagi menyusun naskah cerita, dan berakting. Tapi berkat kesabaran pendamping, dan kemauan mereka untuk belajar, jadilah film yang tak hanya mengedukasi masyarakat untuk menumbuhsuburkan budaya sadar bencana, tapi menjadi hiburan tersendiri, dengan romantika percintaan antar remaja di karang taruna yang diselipkan dalam alur cerita di film itu.

Kami juga berkesempatan nonton bareng film itu, yang walaupun kesannya sederhana, tapi kaya makna. Hebatnya, film karya mereka ini mendapatkan banyak apresiasi dari dunia perfilman maupun NGO taraf internasional loh. Film ini juga sudah diputar di beberapa event perfilman tanah air, maupun di negeri manca. Wuihhh... gak nyangka deh.

Gak terasa nih piknikers... ceritanya dah panjang lebar. Keren ya inspirasi anak-anak muda di Girirejo?! Fasilitatornya juga keren-keren bisa membuat "From Zero to Hero" kawula muda di sana.

Penasaran sama filmnya? Sebagai penutup cerita, pengennya sih kasih liat filmnya atau minimal behind the scene-nya tapi karena tak muat filenya dan gak gak dishare di youtube atau medsos lainnya, jadi ya maap tak bisa kasih liat hehe...

Ok sampai ketemu di cerita perjalanan berikutnya ya gaisss... jangan lupa ninggal pesan/kesan setelah baca tulisan ini ye... makasih...


salam piknikers..
(tria)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip #9: Menikmati wisata kuliner malam 'romantis' di angkringan pendopo lawas Jogja

Trip #8: Berdamai dengan alam di kawasan hutan mangrove Baros

Trip #12: di Kampung Flory Sleman, Icip-icip Kuliner Ndeso